Tafsir Surat Al-Fatihah



بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ(1)الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(2)الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ(3)مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ(4)إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(5)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6)صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ(7)
Dengan nama Allah yang maha Pengasih lagi Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolonganTunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
رحم – يرحم – رحمة: mengasihi/menyayangi
حمد – يحمد – حمدا: memuji
ربّى – يربّى – تربية :
penambahan, pertumbuhan dan peninggian, (Al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariya, Juz II, t.th.: 483), ada yang mengatakan berarti peningkatan, penambahan, pengembangan atau partumbuhan. (Ibn Manzhur, vol.14, 1968: 304 - 307),  mendidik dan memelihara
ملك – يملك –  ملكا ملكة و مملكة: memiliki                                                                                                  
دان – يدين – دين berhutang  دين/ menghukum
عبد – يعبد – عبدا:
 merendahkan diri, memperbudak, tunduk, taat, mempertuhankan, dan manâsik.
(Ibn Manzhur, vol. 4, 1968: 258).
استعان – يسنعين – استعانة: minta pertolongan
هدى      - يهدى -  هداية و هدى: memberi petunjuk/menunjukkan
صرط -  سرط -  يسرط -  سرطا : menelan
أنعم – ينعم – إنعاما: memberi ni’mat
غضب – يغضب – غضبا: murka/marah
أمّّ الكتاب
Dari sekian banyak nama yang disandangnya, ada tiga nama yang penting , yaitu al- fātihah, Ummul kitāb atau Ummul qur’an dan as-Sab’ul-Matsānȋ.
            Banyak hadis Nabi saw. Yang menyebut nama Al- fātihah, antara lain :

“Tidak ada (tidak sah) shalat bagi yang tidak membaca Al- fātihah al-Kitab” (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain).
            Kata fātih yang merupakan akar nama ini berarti “menyingkirkan sesuatu yang terdapat pada satu tempat yang akan dimasuki”. Tentu saja bukan makna harfiah itu yang dimaksud. Penamaannya dengan al-fātihah karena ia terletak pada awal al-Qur’an, dan karena biasanya yang pertama memasuki sesuatu adalah yang membukanya, maka kata fātihah di sini berarti awal al-Qur’an, bukan seperti dugaan sebagian kecil ulama’ bahwa ia dinamai demikian karena surah ini adalah awal surah al-Qur’an yang turun. Anda dapat juga berkata bahwa al-fātihah adalah pembuka yang sangat agung bagi segala macam kebajikan.
            Adapun penamaanya dengan as-Sab’ul-Matsāni, maka inipun besumber dari sekian banyak hadis antara lain diriwayatkan oleh at-Tirmidzi bahwa Rosulullah saw. bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku dalam genggaman-Nya, Allah tidak menurunkan di dalam Taurat, Injil, maupun Zabur dan al-Qur’an suatu surah seperti as-Sab’ul-Matsāni”.
            Dari segi bahasa kata as-sab’u berarti tujuh. Ini karena surah tersebut terdiri dari tujuh ayat, sedang kata matsāni merupakan bentuk jamak dari kata mutsannā atau matsnā yang secara harfiah berarti “dua-dua”. Yang dimaksud dengan “dua-dua” adalah bahwa ia dibaca dua kali setiap rakaat shalat. Jika makna ini yang dimaksud, maka penamaan tersebut lahir pada awal masa islam, ketika setiap shalat baru terdiri dua rakaat; atau karena surah ini turun dua kali, sekali di Makkah dan sekali di Madinah. Bisa juga kata “dua-dua” dipahami dalam arti “berulang-ulang”, sehingga surah ini dinamai demikian, karena ia berulang-ulang dibaca dalam shalat atau di luar shalat, atau karena kandungan pesan setiap ayatnya terulang-ulang dalam ayat al-Qur’an yang lain.
            Penamaannya dengan Ummul Kitāb/Ummul Qur’ān juga bersumber dari Nabi saw. yang bersabda: “siapa yang shalat tanpa membaca Ummul al-Qur’ān maka shalatnya (خداج) khidāj (kurang/tidak sah)”. Imam bukhari juga meriwayatkan yang kesimpulannya adalah bahwa Abu Sa’id al-Khudri, salah seorang sahabat Nabi, melaporkan kepada beliau bahwa ia membacakan kepada seorang yang digigit ular Ummu al-Qur’ān, dan ternyata pulih kesehatannya.[1]
            Kata um dari segi bahasa berarti induk. Penamaan surah ini dengan induk al-Qur’an boleh jadi karena ia terdapat pada awal al-Qur’an ehingga ia bagaikan asal dan sumber, serupa dengan ibu yang datang mendahului anaknya serta sumber kelahirannya.
            Boleh jadi juga penamaannya sebagai umum/induk karena kandungan ayat-ayat al-Fātiḩah mencakup kandungan tema-tema pokok semua ayat-ayat al-Qur’an. Uraian tentang hal ini akan dikemukakan dalam lembaran-lembaran yang akan datang.

AYAT 1
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
            Allah memulai kitab-Nya dengan Basmalah dan memerintahkan Nabi-Nya sejak dini, yakni pada wahyu pertama, untuk melakukan pembacaan dan semua aktivitas dengan nama Allah, iqra’ Bismi Rabbika, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa Basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada manusia. Pesan agar manusia memulai aktivitasnya dengan nama Allah.
            Bā’, atau yang dibaca bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung satu kata/kalimat yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan Basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga Bismillāh berarti “saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini – dalam konteks surah ini adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an – dengan nama Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam do’a atau pernyataan dari pengucap bahwa ia mulai pekerjaannya atas nama Allah. Atau dapat juga diartikan sebagai perintah dari Allah (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah) yang menyatakan, ”Mulailah pekerjaanmu dengan nama Allah”. Kedua pendapat yang menyisipkan dalam benak kata “memulai” pada Basmalah ini memilik semangat yang sama, yakni menjadikan (nama) Allah sebagai pangkalan tempat bertolak. Arti Basmalah ini memiliki kekuatan dan rasa percaya diri, karena ketika itu dia telah menyandarkan dirinya kepada Allah dan memohon bantuan kepada yang Maha Kuasa itu.
            Rasulullah saw. bersabda: “Setiap perbuatan yang penting yang tidak dimulai dengan ‘Bismillāhirrahmānirrahȋm’ maka perbuatan tersebut cacat” (HR. As-Sayuthi dalam “al-Jami’ as-Shaghir” yang menurutnya disebut oleh Abdul Qodir ar-Rahawi yang menyatakan bahwa perawinya dari sahabat Nabi adalah Abu Hurairah).
            Kata (اسم) ism terambil dari kata (السمو) as-sumuw yang berarti “tinggi”, atau (السمة) as-simah yang berarti “tanda”. Memang nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung tinggi.
            Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, seorang ulama’ Syiah Iran kenamaan, menulis dalam tafsirnya “al-Mizān” antara lain bahwa manusia memberi nama bagi sesuatu dengan berbagai tujuan, antara lain untuk mengabadikan nama sesuatu atau untuk mengenang sifat dan keistimewaan yang dinamai itu, agar direnungkan dan diteladani atau bahkan memperoleh berkatnya. Inilah menurutnya tujuan penyisipan kata ism.
            Pakar tafsir al-Qurtubhi (w. 671 H) berpendapat bahwa penulisan tanpa huruf alif pada Basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata. Kalimah ini sering ditulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa alif.
            Az-Zarkashi mengemukakan kaidah yang intinya adalah bahwa penanggalan huruf alif itu mengisyaratkan, bahwa ada sesuatu dalam rangkaian katanya yang tidak terjangkau oleh panca indra. Kata Allah, demikian juga ar-Rahmān pada Basmalah tidak terjangkau hakikatnya. Kedua kata itu tidak dapat digunakan kecuali untuk menunjuk Tuhan yang maha Esa. Kata Bismi yang dirangkaikan dengan Allah dan ar-Rahmān bermaksud mengisyaratkan  hal itu. Atas dasar itu pula, kata bismi pada surah iqra’ ditulis dengan menggunakan huruf alif, karena di sana yang dikemukakan adalah yang disifati dengan rab/pemelihara, sedang pemeliharaan Tuhan cukup jelas terlihat pada seluruh hamba-hamba-Nya.
            Rasyad Khalifah (w. 1990 M) berpendapat bahwa ditanggalkannya huruf alif pada Basmalah adalah agar jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi sembilan belas huruf, tidak dua puluh. Ini, karena angka 19 mempunyai rahasia yang berkaitan dengan al-Qur’an.
            Sementara ulama’ berpendapat bahwa kata Ilāh yang darinya terbentuk kata Allah, berakar dari kata (الالهة) al-Illahāh, (الالوهة) al-Ulūhah, dan (الالوهية) al-Ulūhiyyah yang kesemuanya menurut mereka bermakna ibadah/penyembahan, sehingga Allah secara harfiah bermakna yang disembah. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata (أله) alaha dalam arti “mengherankan” atau “menakjubkan” karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan akibat ketidaktahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Adapun yang terlintas di dalam benak menyangkut hakekat zat Alah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan: “berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berfikir tentang zat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahawa kata Allah terambil dari akar kata Aliha Ya’lahu (أله يأله) yang berarti “tenang”, karena hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti “menuju” dan “bermohon”, karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya juga makhluk memohon.
            Para ulama’ yang mengartikan Ilāh dengan yang disembah menegaskan bahwa Ilāh adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan oleh aqidah islam, seperti matahari, bintang, bulan, manusia, atau berhala, maupun yang dibenarkan dan diperintahkan oleh islam, yakni zat yang wajib wujud-Nya yakni Allah swt. Karena itu jika seorang muslim maka hendaklah mengucapkan Ilāha Illa-llāh.
            Kedua kata tersebut (ar-Rahmān dan ar-Rahȋm) berakar dari kata rahȋm yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, dalam arti “peranakan”. Apabila disebut kata “rahim”, maka yang dapat terlintas di dalam benak adalah “ibu dan anak”, dan ketika itu dapat terbayang betapa besar kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya. Tetapi, jangan disimpulkan bahwa sikap Rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu, karena telah menjadi keyakinan kita bahwa Allah swt.  adalah wujud yang tidak memiliki persamaan dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya dengan apapun, baik yang nyata atau dalam khayalan, dan dengan demikian, hakekat dan kapasitas rahmat-Nya tidak dapat dipersamakan dengan hakekat dan kapasitas rahmat siapapun. Rasulullah saw. “mendekatkan” gambaran besarnya rahmat Tuhan dengan sabdanya: “Allah swt menjadikan rahmat seratus bahagian. Dia menyimpan di sisi-Nya sembilan puluh sembilan bahagian dan diturunkan-Nya ke bumi ini satu bahagian. Satu bahagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk. (begitu meratanya, sampai-sampai satu bahagian yang dibagikan diperoleh pula oleh seekor binatang yang mengangkat kakinya karena dorongan kasih sayang, kuatir jangan sampai menginjak anaknya) ”. (HR. Muslim).
            Kata ar-Rahmān sebagai sifat Allah swt. yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedang  ar-Rahȋm adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang akan hanya dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.
            Sementara ulama’ ada yang menjelaskan makna penggabungan kata Allah, ar-Rahmān dan ar-Rahȋm dalam Basmalah. Menurutnya, seorang yang bermaksud memohon pertolongan kepada Dia yang berhak disembah serta Dia yang mencurahkan aneka nikmat, kecil dan besar, maka yang bersangkutan menyebut nama teragung dari zat yang wajib wujudnya itu sebagai pertanda kewajaran-Nya untuk dimintai. Selanjutnya menyebut sifat rahmat-Nya (Rahman) untuk menunjukkan bahwa Dia wajar melimpahkan rahmat sekaligus wajar dimintai pertolongan dalam amal-amal kebajikan, karena yang demikian itu adalah nikmat rahmat. Selanjutya dinyatakan bahwa curahan rahmat-Nya adalah wajar karena Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada dirinya.

AYAT 2
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢)
“Segala puji hanya bagi Allah pemelihra seluru alam”
            Kata al-ḫamd terdiri dari dua huruf; alif dan lām (baca al) bersama dengan ḥamd. Dua huruf alif dan lam yang menghiasi kata ḥamd, oleh para pakar bahasa dinamai al Istigrāk dalam arti mencakup segala sesuatu. Itu sebabnya al-ḥamdu li-Ilāh seringkali diterjemahkan dengan “segala puji bagi Allah”.
            Ḥamd atau pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau perbuatannya yang baik walau ia tidak memberi sesuatu kepada sipemuji. Di sinilah bedanya dengan kata syukur yang pada dasarnya digunakan untuk mengakui dengan tulus dan dengan penuh hormat pemberian yang dianugerahkan oleh siapa yang disyukuri itu. Kesyukuran itu bermula dalam hati yang kemudian melahirkan ucapan dan perbuatan.
Ada tiga unsur dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga dia wajar mendapat pujian : 1) Indah (baik); 2) Dilakukan secara sadar; dan 3) Tidak terpaksa/dipaksa.
Kata al-ḥamdu dalam surah al-fātiḥah ini ditujukan kepada Allah swt. Ini berarti bahwa Allah dalam segala perbuatan-Nya telah memenuhi ketiga unsur yang disebutkan di atas.
(الحمد لله) al-ḥamdu li-Ilāh “segala puji bagi Allah”. Huruf lam/bagi, yang menyertai kata Allah mengandung makna pengkhususan bagi-Nya. Ini berarti bahwa segala pujian hanya wajar dipersembahkan kepada Allah swt.
Kata rab, seakar dengan kata tarbiyah, yaitu mengarahkan sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya. Bisa juga ia berarti memiliki, walaupun pendapat pertama lebih baik, apalagi kepemilikan Allah akan disebut secara tegas dalam ayat ke empat surat ini.
Kata (عالمين) ‘ālamȋn adalah bentuk jamak dari kata (عالم) ‘ālam. Ia terambil dari akar kata yang sama dengan ilmu atau alamat (tanda). Setiap jenis makhluk yang memiliki ciri yang berbeda dengan yang selainnya, maka ciri itu menjadi alamat/tanda baginya, atau dia menjadi sarana/alat untuk pengetahuan tentang wujud sang Pencipta. Dari sini kata tersebut biasa dipahami dalam arti alam raya atau segala sesuatu selain Allah.
(رب العالمين)  RabbilĀlamȋn merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala puji hanya tertuju kepada Allah swt. Betapa tidak, Dia adalah RabbulĀlamin.
Dengan menegaskan bahwa Allah adalah RabbulĀlamin, ayat ini menenangkan manusia bahwa segalanya telah dipersiapkan Allah, tidak ada satu kebutuhan makhluk dalam mencapai tujuan hidupnya yang tidak disediakan Allah, karena Dia adalah pendidik dan pemelihara seluruh alam.
Al-ḥamdu li-Ilāhi rabbilālamȋn dalam surah al-fātiḥah ini mempunyai dua sisi makna. Pertama, berupa pujian kepada Allah dalam bentuk ucapan; dan kedua berupa syukur kepada-Nya dalam bentuk perbuatan. Syukur sebagaimana dikemukakan sebelum ini adalah mengakui dengan tulus dan penuh hormat nikmat yang dianugerahkan oleh yang disykuri itu dengan kata-kata maupun dengan perbuatan.

AYAT 3
  الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣)
“Ar-Raḥmān ar-Raḥȋm”.
            Ayat ketiga ini tidak dapat dianggap sebagai pengulangan sebahagian kandungan ayat pertama (Basmalah). Ar-Raḥmān dan ar-Raḥȋm dalam ayat ketiga ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah sebagaimana disebutkan ayat kedua, sama sekali bukan untuk pamrih,  seperti halnya seseorang atau perusahaan yang menyekolahkan karyawannya. Pendidikan dan pemeliharaan tersebut semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan kepada makhluk-makhluk-Nya.
            Penekanan pada sifat ar-Raḥmān ar-Raḥȋm di sini dapat juga bertujuan menghapus kesan atau anggapan yang boleh jadi ditimbulkan oleh kata Rab, bahwa Tuhan memiliki sifat kekuasaan mutlak yang cenderung sewenang-wenang.

AYAT 4
مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤)
“Pemilik hari pembalasan”
            Sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kekuasaan. Karena itu kepemilikan dan kekuasaan dimaksud perlu ditegaskan dan inilah yang dikandung oleh ayat ke empat ini, Māliki yaumiddȋn. Demikian al-Biqa’i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya.
            Ada dua bacaan populer menyangkut ayat ini yaitu (ملك) Malik yang berarti “Raja”, dan (مالك) Mālik yang berarti “Pemilik”. Ayat ke empat surah ini dapat dibaca dengan kedua bacaan itu,  dan keduanya adalah bacaan Nabi saw. bedasar riwayat-riwayat yang dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya (mutawātir).
            Kata (ملك) Malik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang biasanya diterjemahkan ”raja” adalah “yang menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan pencabutan”, dan kerena itu biasanya kerajaan terarah pada manusia dan tidak kepada barang yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
            Menyifati Allah seperti bunyi ayat di atas memberi kesan penegakan keadilan, karena raja atau penguasa yang baik yang kasih kepada rakyat/bawahannya serta yang mendidik mereka pasti akan membela siapa yang teraniaya dan mencegah penganiaya, antara lain dengan menegakkan keadilan. Penguasa yang baik – pasti juga – dalam pendidikannya akan memberi balasan baik terhadap yang berbuat baik dan sanksi bagi yang bersalah.
            Allah adalahملك يوم الدين) ) Mālik/maliki yaumid dȋn. (يوم الدين) yaumad-dȋn. Yaum biasa diterjemahkan dengan “hari”. Kata ini terulang di dalam al-Qur’an sebanyak hari-hari dalam setahun, yakni 365 kali. Namun demikian tidak semua kata tersebut mengandung arti yang sama dengan hari yang kita kenal dalam kehidupan dunia ini.
            Al-Qur’an menggunakan kata yaum dalam arti “waktu” atau “periode” yang terkadang sangat panjang menurut ukuran kita. Alam raya diciptakan dalam enam hari. Enam hari di sini, bukan dalam arti 6 x 24 jam. Kelahiran Isa as. juga dinamainya ”hari kelahiran”, dan ini tentu hanya terlangsung beberapa saat.
            Kata ad-dȋn, bahkan semua kata yang terdiri dari huruf-huruf yang sama walaupun denga bunyi/harakat yang berbeda seperti (دين) dȋn/agama, atau (دين) dain/hutang atau (دان يدين) dāna-yadȋnu/menghukum, kesemuanya menggambarkan hubungan dua pihak di mana pihak pertama mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan pihak kedua. Perhatikan antara si peminjam dan pemberi pinjaman, antara yang dihukum dan yang menghukum, dan antara Tuhan yang menurunkan agama dengan manusia yang beragama.
            Kata ad-dȋn dalam ayat ini diartikan sebagai “pembalasan” atau “perhitunagan” atau “ketaatan”, karena pada “hari” itu (hari kiamat) terjadi perhitungan dan pembalasan Allah, dan juga karena ketika itu semua makhluk tanpa kecuali menampakkan ketaatannya kepada Allah swt. dalam bentuk yang sangat nyata.

AYAT 5
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥)
“Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”.
            Redaksi ayat ini (Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan) adalah bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut adalah pengajaran yang diajarkan Allah agar kita ucapkan, karena mustahil Allah yang Maha Kuasa itu berucap demikian bila bukan untuk tujuan pengajaran. Banyak sekali pesan yang dikandung oleh kedua kata terangkai itu, (إيّاك) Iyyāka dan (نعبد) Na’budu.
            Secara tidak langsung penggalan ayat ini mengecam mereka yang mempertuhankan atau menyembah selain Allah, baik masyarakat Arab ketika itu maupun selainnya. Memang banyak sekali di antara masyarakat jahiliyah yang menyembah berhala, benda-benda langit, bahkan binatang-binatang. Dari kalangan masyarakat Arab, kaum saba’ di yaman, demikian juga suku Taim, Ukal dan Dabbat di Jazirah Arabia menyembah matahari, kinanah menyembah bulan, Lakhem dan Khuza’at dan sebagian suku Quraisy menyembah planet Mars. Di sisi lain masyarakat persia menyembah gelap dan terang sebagai lambang dari tuhan jahat dan tuhan baik; sebagian masyarakat Sudan menyembah sapi dan lain-lain. Penggalan ayat ini mengecam mereka semua dan mengumandangkan bahwa yang disembah hanya Dia Rabbul ‘alamin. Tuhan sesembahan-sesembahan itu, bahkan Tuhan seru sekalian alam.
            (إياك) Iyyāka merupakan kata yang menunjuk kepada persona kedua, dalam hal ini yang dimaksud adalah Allah swt. sebelum ayat ini, redaksi yang digunakan ayat-ayat al-fātiḥah semuanya berbentuk persona ketiga. “Dengan nama Allah yang Maha  Rahman dan Maha Rahim. Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam, yang Maha Rahman lagi Maha Rahim, pemilik hari pembalsan”. Tiba-tiba di sini, redaksi diubah ke bentuk persona kedua: “Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”.
            Ini berarti ayat ini – dengan mengajarkan untuk mengucapkan (اياك) Iyyāka – menuntut pembacanya agar menghadirkan Allah dalam benaknya.
            Kata (نعبد) na’budu biasa diterjemahkan dengan menyembah, mengabdi, da taat. Dari akar kata yang sama dibentuk kata “Abdullah” yang arti harfiahnya adalah “hamba Allah”.
            Dalam kamus-kamus bahasa, ‘abd atau ‘abdi mempunyai sekian banyak arti, di antaranya ada yang bertolak belakang. Kata tersebut dapat menggambarkan “kekokohan” tapi juga “kelemahlembutan”. ’abd dapat berarti ”hamba sahaya, anak panah yang pendek dan lebar” (makna ini menggambarkan kekokohan), juga dapat berarti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum ” (ini menggambarkan kelemahlembutan).
            Apabia seseorang menjadi ‘abd/abdi sesuatu – anggaplah sebagai “abd(i) negara”, maka ketiga arti di atas merupakan sikap dan sifatnya yang menonjol.
            Seorang hamba tidak memiliki sesuatu. Apa yang dimilikinya adalah milik tuannya. Dia adalah anak panah yang dapat digunakan tuannya untuk tujuan yang dikehendaki sang tuan, dan dalam saat yang sama dia juga harus mampu memberi aroma yang harum bagi lingkungannya.
            Pengabdian bukan hanya sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi, serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangaku arti hakikatnya. Begitu lebih kurang tulis Syekh Muhammad Abduh.
            Ketika seseorang menyatakan Iyyāka na’budu maka ketika itu tidak sesuatu apapun, baik dalam diri seseorang itu maupun yang berkaitan dengannya, kecuali telah dijadikan milik Allah. Memang, segala aktivitas manusia harus berakhir menjadi ibadah kepadanya, sedang puncak ibadah adalah iḥsān.
            Seseorang yang membaca (اياك نعبد)  Iyyāka na’budu dengan menonjolkan ke-kami-annya, pada hakikatnya menanamkan ke dalam jiwanya sambil mengadu kepada Tuhan bahwa ibadah yang sedang dilakuannya itu masih belum mencapai kesempurnaan; shalatnya belum khusu’, pikirannya masih melayang, sujudnya belum sempurna, bacaan-bacaannya belum terhayati, dan sebagainya. Namun demikian ia seakan-akan berkata kepada Tuhan, “Ya Allah, aku datang bersama yang lain, yang lebih sempurna ibadahnya, aku gabungkan ibadahku dengan ibadah mereka agar Engkau menerima pula ibadahku”.
            (واياك نستعين) Wa iyyāka nasta’ȋn/dan hanya kepada-Mu kami memohon bantuan. Jika anda memohon bantuan, maka itu berarti bahwa Anda tidak dapat atau terhalang atau sulit meraih apa yang Anda mohonkan itu oleh satu dan lain sebab, kecuali bila dibantu. “Bantuan” adalah mempermudah melakukan sesuatu yang sulit diraih oleh yang memintanya, yaitu dengan jalan mempersiapkan sarana pencapaiannya, seperti meminjamkan alat yang dibutuhkan, atau partisipasi dalam aktivitas, baik dalam bentuk tenaga atau pikiran, nasehat, atau harta benda.
            Dari penjelasan di atas terlihat bahwa permohonan bantuan itu bukan berarti berlepas tangan sama sekali. Tidak! Anda masih dituntut untuk berperanan, sedikit atau banyak sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
            Selanjutnya pernyataan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan mengandung pula makna bahwa sang pengucap tidak memohon pertolongan kepada selain Allah.
            Harus diingat bahwa pertolonagan Allah yang berada di luar wilayah sebab dan akibat itu tidak dapat terjadi atau diperoleh tanpa mengikuti petunjuk yang telah digariskan oleh-Nya dalam QS. Āli Imrān [3]: 125 yang telah dikutip di atas yaitu kesabaran dan taqwa.

AYAT 6
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) 
Bimbing/antarlah kami (masuk) jalan lebar dan luas”.
            Kata (اهدنا) ihdinā terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf Hā’, Dāl, Yā’. maknanya berkisar pada dua hal.
            Pertama, “tampil ke depan memberi petunjuk”, dan kedua menyampaikan dengan lemah lembut”. Dari sini lahir kata hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.
            Petunjuk tingkat pertama (naluri) teratas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri tidak mampu mencapai apapun yang berada di luar tubuh pemilik naluri itu. Nah, pada saat datang kebutuhannya untuk mencapai sesuatu yang berada di luar dirinya, sekali lagi manusia membutuhkan petunjuk dan kali ini Allah menganugerahkan petunjuk-Nya berupa panca indera.
            Thahir ibn Asyur membagi hidayat kepada empat tingkatan juga.[2]
            Pertama, apa yang dinamainya (القوى المحركة والمدركة) al-quwwal-muharrikah wal mudrikah, yakni potensi penggerak dan tahu. Melalui potensi ini seseorang dapat memelihara wujudnya. Banyak hal yang dicakup potensi ini, dari naluri bayi menyusu atau menangis ketika sakit, sampai kepada perasaan yang mengantarnya menyingkirkan bahaya dan ancaman, atau mendatangkan kemaslahatan dirinya berupa minta makan dan minum, menggaruk kulit bila gatal, memejamkan mata bila terganggu, bahkan sampai ke puncaknya yaitu mengambil kesimpulan yang bersifat aksioma sebagai hasil pengamatan akal. Ini hanya terbatas bagi manusia yang diperolehnya melalui pengetahuan yang bersifat inderawi.
            Kedua, petunjuk yang berkaitan dengan dalil-dalil yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, yang benar dan salah. Ini adalah hidayat pengetahuan teoritis.
            Ketiga, hidayat yang tidak dapat dijangkau oleh analisis dan aneka argumentasi akliah, atau yang bila diusahakan akan sangat memberatkan manusia. Hidayat ini dianugerahkan Allah swt. dengan mengutus rasul-rasul-Nya serta menurunkan kitab-kitab-Nya, dan inilah yang diisyaratkan oleh firman-Nya: “kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami” (QS. Al-Anbiyā’ [21:73]).
            Keempat, yang merupakan puncak hidayat Allah swt. adalah yang mengantar kepada tersingkapnya hakikat-hakikat yang tertinggi, serta aneka rahasia yang membingungkan para pakar dan cendekiawan. Ini diperoleh melalui wahyu atau ilham yang shahih, atau limpahan kecerahan (tajalliyāt) yang tercurah dari Allah swt. Apa yang diperoleh para nabi pun dinamai oleh al-Qur’an sebagai hidayat sebagaimana firman-Nya: “mereka itulah (para nabi-nabi yang disebut nama-namanya sebelum ini) adalah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah,  maka ikutilalh petunjuk mereka” (QS. Al-An’am [6]: 9).
            Kata “hidayat” terkadang dirangkaikan dengan huruf (الى) ilā menuju/kepada dan terkadang tidak dirangkaikan dengannya. Sementara ulama’ berpendapat bahwa bila ia disertai dengan kata ilā (menuju/kepada) maka ia mengandung makna bahwa yang diberi petunjuk belum berada dalam jalan  yang benar, sedang bila tidak menggunakan kata ilā, maka pada umumnya mengisyaratkan bahwa yang telah diberi petunjuk berada pada jalan yang benar – kendati belum sampai pada tujuan – dan karena itu ia masih diberi petunjuk yang lebih jelas guna menjamin sampainya ke tujuan.
            Kata (الصراط) ash-shirāt terambil dari kata (صراط) saratha, dan karena huruf (س) sȋn dalam kata ini bergandengan dengan huruf (ر) rā’, maka huruf (س) sȋn terucapkan (ص) shād (صراط) shirāt atau (ز) zai (زراط). Asal katanya sendiri bermakna “menelan”. Jalan yang lebar dinamai shirāt karena sedemikian lebarnya sehingga ia bagaikan menelan si pejalan.
            Kata shirāt ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 45 kali semuanya dalam bentuk tunggal, 32 kali di antaranya dirangkaikan dengan kata mustaqȋm, selebihnya dirangkaikan dengan berbagai kata seperti as-sawiy, sawā’, dan al-jahȋm. Selanjutnya bila shirāth dinisbahkan kepada sesuatu maka penisbahannya adalah kepada Allah swt. seperti kata shȋrātaka, (jalan-Mu) atau shirāthȋ (jalan-Ku), atau shirāth al-Aziz al-ḥamȋd, (jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji), dan kepada orang-orang mukmin yang mendapat anugerah nikmat Ilahi seperti dalm ayat al-fātiḥah ini (shirāthal lađzina an’amtaalaihim).
            Ini berbeda dengan kaata sabȋl, yang juga sering diterjemahkan dengan “jalan”. Kata sabȋl ada yang berbentuk jamak seperti subulus salām (jalan-jalan kedamaian), adapula yang tunggal, dan ini ada yang dinisbahkan kepaa Allah seperti sabȋlillāh, atau kepada orang bertaqwa seperti sabȋl al-muttaqȋn, dan ada juga yang dinisbahkan kepada setan dan tirani, seperti sabȋl at-thāghūt atau orang-orang berdosa seperti sabȋl al-mujrimȋn.
            Shirāth bagaikan jalan tol. Anda tidak dapat lagi keluar atau tersesat setelah memasukinya. Bila memasukinya anda telah ditelan olehnya dan tidak dapat keluar kecuali setelah tiba pada akhir tujuan perjalanan.
            Shirāth adalah jalan yang luas. Semua orang dapat melaluinya tanpa berdesak-desakan. Berbeda dengan sabȋl, dia banyak namun merupakan jalan kecil atau lorong-lorong. Tak mengapa Anda menelusuri sabȋl asal pada akhirnya Anda akan menemukan jalan tol itu, yakni jalan yang luas lagi lurus itu.
            Shirāth yang luas yang dimohonkan dalam surah al-fātiḥah ini adalah yang (مستقيم) mustaqȋm yakni “yang lurus”. Kata ini terambil dari kata (قام يقوم) qāma-yaqūmu yang arti aslinya adalah mengandalkan kekuatan betis dan atau memegangnya secara teguh sampai yang bersangkutan dapat berdiri tegak lurus. Karena itu kata qāma dapat diterjemahkan “berdiri” atau “tegak lurus”. Dalam surah al-fātiḥah ini kata mustaqȋm diartikan “lurus”. Dengan demikian yang diharapkan bukan hanya shirāth yakni jalan yang lebar dan luas, tetapi juga yang lurus. Karena kalau jalan hanya lebar dan luas tetapi berliku-liku, maka sungguh panjang jalan yang harus ditempuh guna mencapai tujuan. Jalan shirāth al-mustaqȋm adalah jalan luas, lebar, dan terdekat menuju tujuan. Jalan luas lagi lurus itu adalah segala jalan yang dapat mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
            Harta kekayaan yang halal dapat mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika demikian maka ia adalah bagian dari kandungan ash-ashirāth al-mustaqȋm yang dimohonkan di sini.

AYAT 7
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَليْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ (٧)
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat”.
            “Nikmat” adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan diri manusia. Nikmat menghasilkan suatu kondisi yang menyenangkan serta tidak mengakibatkan hal-hal yang negatif, baik material maupun immaterial. Kata ini mencakup kebajikan duniawi dan ukhrawi. Sementara ulama’ menyatakan bahwa pengertian asalnya berarti “kelebihan” atau “pertambahan”. Nikmat adalah sesuatu yang baik dan berlebih dari apa yang telah dimiliki sebelumnya.
            Seseorang dapat membayangkan apa saja nikmat-nikmat Allah yang telah diperolehnya dengan melihat modal apakah yang dimilikinya sendiri sebelum hadir dipentas dunia ini.
            Ada empat kelompok manusia yang telah mendapat nikmat khusus dari Allah swt. Yaitu “nikmat keagamaan”. Jalan kelompok-kelompok itulah yang dimohonkan agar ditelusuri pula oleh pembaca ayat ke tujuh surat al-fātiḥah ini.[3]
            Kelompok pertama adalah para nabi, yaitu mereka yang dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi. Mereka yang selalu berucap dan bersikap benar, serta memiliki kesungguhan, amanat, kecerdasan, dan keterbukaan sehingga mereka menyampaikan segala sesuatu yang harus disampaikan. Mereka adalah orang-orang yang terpelihara identitas mereka sehingga tidak melakukan dosa atau pelanggran apapun.
            Kelompok kedua adalah para shiddȋqȋn, yaitu orang-orang dengan pengertian apapun selalu benar dan jujur. Mereka tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran tampak di pelupuk mata mereka yang hak. Mereka selalu mendapat bimbingan Ilahi, walau tingkatnya berada di bawah tingkat bimbingan yang di peroleh para nabi dan rasul.
            Kelompok ketiga adalah syuhada, yakni mereka yang bersaksi atas kebenaran dan kebajikan melalui ucapan dan tindakan mereka, walau harus mengorbankan nyawanya sekalipun, dan atas mereka yang disaksikan kebenaran dan kebajikan oleh Allah swt., para malaikat, dan lingkungan mereka.
            Kelompok keempat adalah orang-orang shaleh, yakni mereka yang tangguh dalam kebajikan dan selalu berusaha mewujudkannya. Kalaupun sesekali ia melakukan pelanggaran, maka itu adalah pelanggaran kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan kebajikan-kebajikan mereka.
            (غير المغضوب عليهم) Gairil maghdūbialaihim. Kata (المغضوب) al-maghdūb berasal dari kata (غضب) gadhab yang dalam berbagai bentuknya memiliki keragaman makna, namun semuanya memberikan kesan keras, kokoh, dan tegas. Singa, banteng, batu gunung, sesuatu yang merah padam (ingat wajah yang merah padam), semuanya digambarkan melalui akar kata gadhab. Jadi “al-gadhab” adalah sikap keras, tegas, kokoh, dan sukar tergoyahkan yang diperankan oleh pelakunya terhadap objek disertai dengan emosi.
            Sikap itu apabila diperankan oleh manusia dinamai “amarah”. Tetapi bila diperankan oleh Tuhan, maka walaupun ia diterjemahkan dengan amarah atau murka namun maksudnya bukanlah seperti amarah makhluk yang biasanya lahir dari emosi. Dahulu ulama-ulama salaf, yakni yang hidup pada abad pertama dan kedua hijrah, enggan menafsirkan kata-kata seperti ini. Tetapi ulama yang datang setelah mereka memahaminya sambil menjauhkan dari Allah swt. segala sifat kekurangan dan sifat yang disandang makhluk. Mereka memahaminya dalam arti kehendak-Nya untuk melakukan tindakan keras dan tegas terhadap mereka yang membangkang perintah-Nya. Dengan kata lain ia bermakna ancaman siksa atau siksaan yang puncaknya adalah memasukkan dan mengekalkan mereka yang mempersekutukan Allah di dalam neraka. Tingkat yang lebih rendah dari ghadab adalah “tidak senang”.
            Melihat penggunaan dan konteks tersebut wajar bilaYahudi dijadikan sebagai contoh konkrit untuk arti al-maghdūbalaihim.
            Setelah menelusuri ayat-ayat al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa pelanggaran orang Yahudi yang mengakibatkan murka Tuhan mencakup:
a.       Mengingkari tanda-tanda kebesaran Ilahi
b.      Membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar
c.       Iri hati dan membangkang akibat anugerah Allah untuk orang lain
d.      Membantah keterangan-keterangan Rasul
e.       Mempersekutukan Allah dan mempersonofikasikannya dalam bentuk sapi,
f.       Melakukan pelanggaran-pelangaran dalam perolehan rezeki seperti suap, menyalahgunakan kekuasaan, dan lain-lain
Pelangaran-pelanggaran yang juga dikaitkan dengan murka Tuhan tetapi dikemukakan bukan dalam konteks pembicaraan menyangkut orang Yahudi, adalah:
a.    Membunuh seorang mukmin dengan sengaja tanpa alasan yang benar
b.    Berprasangka buruk kepada Tuhan serta meragukan kehadiran bantuan-Nya
c.    Lari dari peperangan (perjuangan) membela kebenaran
d.   Murtad/memilih kekufuran sebagai ganti keimanan/menentang ajaran agama yang baik
e.    Perzinahan yang dilakukan seorang wanita yang sedang terikat perkawinan tanpa bertobat
Kata (ضالين) dhāllȋn berasal dari kata (ضل) dhalla. Tidak kurang dari 190 kali kata dhalla dalam berbagai bentuknya terulang dalam al-Qur’an. Kata ini pada mulanya berarti “kehilangan jalan, bingung, atau tidak mengetahui arah”, makna-makna ini berkembang sehingga kata tersebut juga dipahami dalam arti “binasa, terkubur”, dan dalam arti immaterial berarti “sesat dari jalan kebajikan”, atau lawan dari petunjuk. Dari penggunaan al-Qur’an yang beraneka ragam, dapat disimpulkan bahwa kata ini dalam berbagai bentuknya mengandung makna “tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh kebenaran”.
Anda dapat memahami kata adh-dhāllȋn dalam ayat ini adalah orang-orang Nasrani, sebagaimana informasi sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi saw. Tetapi tanpa menolak informasi itu, di sini dapat diulangi penjelasan yang dikemukakan di atas tentang arti al-magdūbalaihim yakni bahwa penafsiran ini adalah contoh yang diangkat Nabi dari masyarakat beliau ketika itu.



Ibn Manzhûr, Lisan al-‘Arab, Juz IV, XIV, (Kairo: al-Dar al-Mishriyah, t.t.).



[1] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah (ciputat. Lentera Hati, 2002), hlm. 4
[2] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah (ciputat. Lentera Hati, 2002), hlm. 62
[3] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah (ciputat. Lentera Hati, 2002), hlm. 69

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Surat Al-Fatihah

Makalah Sejarah Pendidikan Islam

MODUL AJAR PAI DENGAN METODE DBL MATERI KERAGAMAN KELAS 4